Beranda | Artikel
Matan Abu Syuja: Sunnah dan Adab Puasa
Senin, 8 April 2019

Kali ini kita akan melihat sunnah dan adab puasa dari matan Abu Syuja. Ada tiga hal yang nanti akan disebutkan kali ini.

 

Abu Syuja’ rahimahullah dalam kitab Matan Ghayah Al-Ikhtishar,

وَيُسْتَحَبُّ فِي الصَّوْمِ ثَلاَثَةُ أَشْيَاءَ : تَعْجِيْلُ الفِطْرِ وَتَأْخِيْرُ السَّحُوْرِ وَتَرْكُ الهِجْرِ مِنَ الكَلاَمِ

Ada tiga hal yang disunnahkan ketika puasa: (1) menyegerakan berbuka puasa, (2) mengakhirkan makan sahur, (3) meninggalkan kata-kata kotor.

 

(1) Menyegerakan berbuka puasa

 

Yang dimaksud di sini adalah ketika matahari telah benar-benar tenggelam, langsung disegerakan waktu berbuka puasa. Dalilnya adalah dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ

Manusia senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan waktu berbuka.” (HR. Bukhari, no. 1957 dan Muslim, no. 1098)

Bahkan menyegerakan waktu berbuka bertujuan untuk menyelisihi Yahudi dan Nashrani sebagaimana disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَزَالُ الدِّينُ ظَاهِرًا مَا عَجَّلَ النَّاسُ الْفِطْرَ لأَنَّ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى يُؤَخِّرُونَ

Islam tetap terus jaya ketika manusia menyegerakan waktu berbuka karen Yahudi dan Nashrani sering mengakhirkannya.” (HR. Abu Daud, no. 2352 dan Ahmad, 2:450. Hadits ini hasan kata Syaikh Al-Albani).

Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berbuka puasa sebelum menunaikan shalat Maghrib dan bukanlah menunggu hingga shalat Maghrib selesai dikerjakan. Sebagaimana Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُفْطِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّىَ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَعَلَى تَمَرَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya berbuka dengan ruthob (kurma basah) sebelum menunaikan shalat. Jika tidak ada ruthob (kurma basah), maka beliau berbuka dengan tamer(kurma kering). Dan jika tidak ada yang demikian beliau berbuka dengan seteguk air.” (HR. Abu Daud, no. 2356 dan Ahmad, 3:164. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih).

Yang dianjurkan ketika berbuka adalah dengan ruthob (kurma basah), lalu tamer (kurma kering). Jika tidak didapati kurma, maka boleh digantikan dengan makanan yang manis-manis. Di sini dianjurkan dengan yang manis-manis ketika berbuka karena yang manis tersebut semakin menguatkan orang yang berpuasa. Sedangkan berbuka puasa dengan air bertujuan untuk menyucikan atau menyegarkan. Adapun jika berada di Makkah, dianjurkan berbuka dengan air zam-zam. Lihat Kifayah Al-Akhyar, hlm. 251-252.

Dalam Hasyiyah Al-Baijuri (1:562) disebutkan bahwa hukum berbuka puasa adalah wajib karena diharamkan melakukan puasa wishol yaitu berpuasa terus menerus selama dua hari atau lebih, tanpa berbuka.

 

(2) Mengakhirkan makan sahur

 

Makan sahur itu disepakati oleh para ulama, hukumnya sunnah (Lihat Kifayah Al-Akhyar, hlm. 252). Mengenai anjuran makan sahur disebutkan dalam hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِى السَّحُورِ بَرَكَةً

Makan sahurlah karena sesungguhnya pada sahur itu terdapat berkah.” (HR. Bukhari, no. 1923 dan Muslim, no. 1095).

Kata Muhammad Al-Khatib rahimahullah, waktu makan sahur dimulai dari tengah malam, lihat Al-Iqna’, 1:410. Waktu sebelum itu tidak disebut makan sahur sebagaimana disebutkan dalam Hasyiyah Al-Baijuri, 1:563.

Namun waktu makan sahur yang terbaik adalah diakhirkan, artinya masih dibolehkan makan selama belum yakin tibanya fajar shubuh. Tujuan mengakhirkan makan sahur adalah untuk lebih menguatkan badan. Mengenai sunnah mengakhirkan makan sahur di sini disebutkan dalam hadits berikut ini.

عَنْ أَبِى ذَرٍّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لاَ تَزَالُ أُمَّتِى بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الإِفْطَارَ وَأَخَّرُوا السُّحُورَ »

Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Umatku senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan waktu berbuka dan mengakhirkan sahur.” (HR. Ahmad, 5:147. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth dan Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa sanad hadits ini dhaif).

Dalil lain yang mendukung hadits di atas adalah praktik Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam makan sahur sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut.

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ نَبِىَّ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – وَزَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ تَسَحَّرَا ، فَلَمَّا فَرَغَا مِنْ سَحُورِهِمَا قَامَ نَبِىُّ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – إِلَى الصَّلاَةِ فَصَلَّى . قُلْنَا لأَنَسٍ كَمْ كَانَ بَيْنَ فَرَاغِهِمَا مِنْ سَحُورِهِمَا وَدُخُولِهِمَا فِى الصَّلاَةِ قَالَ قَدْرُ مَا يَقْرَأُ الرَّجُلُ خَمْسِينَ آيَةً

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi Allah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Zaid bin Tsabit pernah makan sahur. Ketika keduanya selesai dari makan sahur, Nabi pun berdiri untuk pergi shalat, lalu beliau shalat. Kami pun berkata pada Anas, “Berapa lama jarak antara waktu selesai makan sahur dan waktu pengerjaan shalat?” Beliau menjawab, “Sekitar seseorang membaca 50 ayat.” (HR. Bukhari, no. 1921 dan Muslim, no. 1097).

Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Hadits di atas menunjukkan jarak antara akhir makan sahur dan mulai shalat.” (Fath Al-Bari, 4:138). Ibnu Abi Jamrah mengatakan, “Hadits ini menunjukkan bahwa sahur itu diakhirkan.” (Idem)

Kata penulis Fath Al-Qarib, makanan sahur bisa sedikit maupun banyak. Lihat Hasyiyah ‘ala Al-Qaul Al-Mukhtar, 1:264.

 

(3) Meninggalkan kata-kata kotor

 

Orang yang berpuasa sangat ditekankan untuk meninggalkan ghibah (menggunjing orang lain) dan meninggalkan dusta, begitu juga meninggalkan perbuatan haram lainnya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

Barangsiapa yang tidak meninggalkan dusta dan malah melakukan konsekuensinya, maka Allah tidak pandang lagi pada makan dan minum yang ia tinggalkan.” (HR. Bukhari, no. 1903).

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوعُ وَالْعَطَشُ وَرُبَّ قَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ قِيَامِهِ السَّهَرُ

Betapa banyak orang yang hanya dapati dari puasa rasa lapar dan dahaga saja. Dan betapa banyak orang yang shalat malam hanya mendapatkan rasa capek saja.”(HR. Ahmad, 2:373 dan Ibnu Majah, no. 1690. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid).

Syaikh Prof. Dr. Musthafa Al-Bugha berkata bahwa mencela, berdusta, ghibah (menggunjing), namimah (mengadu domba) dan semacamnya termasuk perbuatan yang haram secara zatnya. Namun dari sisi orang yang berpuasa, hal ini lebih berbahaya karena bisa menghapuskan pahala puasa, walau puasanya itu sah dan telah dianggap menunaikan yang wajib. Sehingga perkara ini tepat dimasukkan dalam adab dan sunnah puasa. Lihat Al-Fiqh Al-Manhaji, hlm. 347.

 

Masih berlanjut Insya-Allah tentang fikih puasa dari matan Abu Syuja’. Nantikan pula bukunya akan segera terbit.

 

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com


Artikel asli: https://rumaysho.com/20160-matan-abu-syuja-sunnah-dan-adab-puasa.html